“Yang terpenting adalah bagaimana mengedukasi pendengar,” kata Rudi, “Agar mereka tahu roots-nya. Dan kaos dapat menjadi sarana edukasi secara tak langsung.” Entah ada benarnya atau tidak, tapi saya hanya tersenyum dan mengangguk saja. Ia kemudian menyalakan rokok pertamanya dari sederet batang Marlboro yang baru saja dibelinya. Rudi - vokalis band hardcore punk asal Yogyakarta, Wicked Suffer – sedikit bercanda tapi ia tidak sedang menggurui, walau kadang ia dapat terdengar keras.
Di panggung, ia menjadi seorang frontman yang bernyanyi dengan penuh energi, dimana ia merapalkan lirik seperti "we still stay in harm ways, we're apathetic as the wind." Di sore hari ketika saya menemuinya itu, ia akan tampil bersama bandnya di panggung terbuka Jogja National Museum bersama beberapa band dari Malang dan Yogyakarta. Mereka berencana membawakan delapan lagu dengan sebuah nomor klasik dari Negative Approach, "Ready to Fight".
Wicked Suffer adalah fenomena yang layak untuk disimak dalam arena musik hardcore/punk saat ini. Mereka kerap berhasil mengundang berbagai macam tipe pendengar ke gig-gig brutal mereka. Mereka juga baru saja menyelesaikan wawancara dengan kontributor Maximum Rock n Roll.
Band ini mengandalkan kekuatan riff-riff klasik hardcore punk ala 80s Detroit hardcore (Negative Approach, The Necros) dengan campuran power violence dan sedikit aroma black metal. “Mungkin karena kami suka California Love, jadi ada sedikit unsur power violence dalam struktur musik kami,” katanya. Chaotic dan primitif adalah sebuah ramuan unik. “Terserah orang melabeli musik kami apa. Tapi kami hanya sebuah band hardcore punk dan semua personel kami juga setuju itu,” kata Rudi.
Di atas panggung, Wicked Suffer bak menjadi mesin bertenaga diesel dan Rudi menjadi motornya. Ia aktif menjelajah panggung seperti Jacob Bannon dari Converge dan crowd terbagi menjadi dua sisi: mereka yang membentuk circle pit dan massa yang mengangguk-angguk.
Di samping segi musikalitasnya, Wicked Suffer tidak berharap menjadi katalis dalam skena musik hardcore/punk. Mereka hanya menawarkan sesuatu yang baru dan merilis karya yang representatif, yang menurut Rudi “lebih pissed off.”
Mereka tidak gencar berpromosi lewat situs jejaring sosial, hanya aktif di blog yang memuat semua sepak terjang dan segala macam informasi terbaru. Bahkan Rudi kerap mengunggah video-video amatir dari gigs mereka. “Kami tak terlalu suka social networking. Kalo dengan blog kita bisa posting secara lebih personal. Tapi memang ada rencana untuk bikin band camp.”
Blog mereka memang memuat banyak hal, mulai dari to-do list yang bersifat personal, jadwal panggung, dan kadang kala mereka memuat playlist yang luas dan dapat menjadi panduan singkat mengenai band-band bagus di luar sana. Meski tak terlalu up to date, blog mereka mampu menjembatani komunikasi dengan pendengarnya.
Sebelum membentuk Wicked Suffer, Rudi pernah bergabung di band This Heart – sebuah unit hardcore dengan nuansa melodik yang modern dan agresif. Di tahun 2008, band ini telah merilis demo berisi tiga lagu yang disebarkan secara free, dengan lirik personal yang dipengaruhi oleh Henry David Thoreau. Sebetulnya, band ini telah memiliki materi yang siap dirilis dalam bentuk full length album, namun semua menguap begitu saja karena berbagai masalah internal.
Setelah kebuntuan yang cukup lama, Rudi dan Yudha (gitaris) memutuskan keluar (“tak ada lagi kecocokan.”). Rudi kemudian mengajak Adit dan Dito untuk mengisi departemen drum dan bass, dan mulai ber-jam session membawakan lagu-lagu lawas dari tahun 80-an. Di awal tahun 2010, Wicked Suffer resmi terbentuk.
Dari awal Rudi memang ingin mendirikan band hardcore yang kembali ke akar dengan sound klasik beserta lirik yang gelap. Wicked Suffer menjadi wadah dan ruang kreatif untuk semua bentuk ekspresi itu. “Saya dan Yudha memutuskan untuk membentuk band dengan konsep short, fast, and loud. Saya melihat scene Jogja kurang berkembang. Kebanyakan band mengusung aliran yang hampir sama. Tapi sebenarnya ini adalah proyek fun,” Ujar Rudi. “Agar secara musikalitas scene Jogja semakin kaya,” tambahnya.
Rudi juga mengatakan bahwa ia ingin berbagi semacam edukasi, agar para pendengar musik hardcore/punk, kembali merunut sejarah budaya ini, “Ironisnya jaman sekarang, yang mendengar band-band 80s hardcore punk justru malah para hipster. Mereka mengulik Husker Du, tapi banyak hardcore kids yang justru malah berkutat di situ-situ saja. Tak ada yang salah dengan favorit, tapi memahami roots juga penting. Dengan akar yang kuat pastinya tak akan mudah goyah. Kamu tahu Mayer Hawthorne? Band punk favoritnya adalah Negative Approach, dan itu keren.”
Bulan September 2010 band ini masuk dapur rekaman dan merekam tujuh lagu di Avilla Studio, Yogyakarta. Sebelumnya mereka telah mengunggah raw demo yang direkam menggunakan ponsel dengan hasil yang jauh dari memuaskan (sangat lo-fi dan mentah), tapi karakter mereka cukup kuat di materi dan attitude. Proses rekaman dan mixing memakan waktu sekitar enam bulan. Hasilnya adalah Vicious Circle EP, sebuah ekskursi sepanjang 8 menit 16 detik yang dirilis oleh Work Hard Play Hard Records.
Materi Vicious Circle EP tak melulu berada di segmen hardcore punk/thrash, banyak formula-formula klasik namun segar bertebaran disana sini; part-part naik turun dengan chugga-chugga ala Boston hardcore style (Mereka juga terpengaruh oleh Negative FX) dicampur dengan riff-riff metal yang gelap dan sedikit sludgy.
Musik mereka terpintal rapi dengan lirik seputar kegamangan diri, refleksi sosial, serta kebencian. “Lirik kami berada di seputar ketidakpuasan terhadap pilihan hidup yang telah dijalani, menurut saya itulah sisi tergelap dari manusia,” ungkap Rudi pada saya.
Dengan mengutip Jean Genet – novelis Prancis dan mantan kriminal - dalam inlay EP-nya ("what we need is hatred, from it our ideas are born") secara garis besar album ini telah terpetakan: Vicious Circle EP merangkum pengalaman hidup yang dikelilingi oleh para hipokrit serta kebencian terhadap fanatisisme (lagu-lagu "Grave Digger", "Liar Parade", "Hatred is Purity", "Pestilence"), nihilisme ala Nietszche yang mengusung vakumnya nilai moral yang berpadu dengan jargon “Long Live Nothing”-nya Charles Bronson (“Ares”), dan sikap terhadap pilihan hidup yang telah diambil ("Evil Ways"). Jika menengok tema-tema yang diangkat, kutipan dari Jean Genet tampaknya sangat sesuai dengan konsep yang mereka ajukan.
Dalam durasi lagu yang sangat pendek (rata-rata lagu di EP ini berdurasi 1 menit), band ini mampu menyuarakan pesan tanpa kehilangan taji dan klimaksnya. Mereka tak butuh refrain-refrain panjang untuk berteriak lantang dan menghujat kemunafikan.
Di lagu “Ares”, Rudi bernyanyi dalam tempo lambat yang gelap dan berat disertai lirik yang sangat reflektif seperti, “Everyday spells tragedy/bullet is his middle name/greedy minds with greedy eyes/architects of our demise.”
Sementara di lagu “Pestilence”, Rudi berusaha menggambarkan terror dan kebencian atas nama sebuah kebenaran dalam lirik yang cerdas: mental breakdown/eyes rolled back/veins are drying/a dropdead generation. Wicked Suffer tak mencoba menyuratkan gimmick yang biasa ditemukan di lirik-lirik band hardcore, atau mereka tidak seserius itu untuk memaparkan zeitgeist yang meliputi kegelisahan anak muda. Semua kembali ke konsep semula, menyuarakan suara hati.
Rilisan ini uniknya, dirilis dalam bentuk kaset. Sesuatu yang mulai ditinggalkan oleh kebanyakan band dan label. Kaset bagi sebagian orang adalah properti fetish dan merupakan jalan bernostalgia ke masa yang telah lampau. Tapi mereka tak hendak bernostalgia. Salah satu alasannya adalah kaset dipilih karena murah dalam biaya produksi. Rilisan ini didistribusikannya secara mandiri, dengan cara hand to hand dan tidak menitipkannya di distro ataupun toko kaset karena mereka tak mau dipusingkan dengan konsinyasi. “Simple, agar uang langsung masuk ke kas kita, hahaha.”
Tak ada launching maupun publikasi besar-besaran yang menyertai rilisnya EP ini. Mereka hanya mempromosikannya dari mulut ke mulut dan lewat blog resmi mereka. EP ini hanya dirilis sebanyak 200 kopi dan rencananya akan dirilis juga oleh netlabel Yes No Wave.
“Tinggal menunggu kopian fisik habis terjual. Kami sudah mengontak label kami dan mereka setuju untuk mengunggahnya di Yes No Wave.” Katanya. Tahun ini mereka disibukkan dengan rekaman untuk split album mereka dengan band asal Bandung, A.L.I.C.E, serta jadwal panggung dan berbagai tur. “Ada rencana untuk tur ke Sumatera, dan saat ini sedang tahap menabung. Di penghujung tahun ini kami juga berencana merilis full length album dalam bentuk CD,” tutupnya.
Berangkat dari suatu kesenangan, Wicked Suffer datang dengan segenap potensi-nya. Tak berharap banyak kecuali memberi warna baru dalam sebuah budaya karena stagnasi adalah hal tabu. Saya teringat kata-kata Tesco Vee, dedengkot scene Detroit hardcore/punk yang terkenal dengan zine Touch & Go-nya. Dalam wawancara di Swindle Magazine, ia mengatakan: ”Leaving a legacy wasn’t really the mark I was shooting for. I’d like to think we just left a big nasty skid mark in the underpants of punk.” Itulah salah satu bentuk kesederhanaan dan kejujuran yang mutlak diperlukan, dan Wicked Suffer menawarkan hal itu.
Photos courtesy of Wicked Suffer